Sabtu, 12 Januari 2008

Kemenangan Orang Pinggiran


Kemenangan Orang Pinggiran

Selain mengandung berbagai makna sebagai sebuah simulakra, televisi pun seperti buku katalog besar ,- yang menampilkan wajah semua orang. Secara tradisional televisi masih menggenggam rumus media massa, yang mewariskan konsep : ‘yang aneh, unik dan tampil beda, selalu ingin diketahui orang.’ Maka selain wajah-wajah rupawan para selebritis, wajah-wajah yang tidak rupawan pun be rmunculan di sana. Tergantung jenis program dan peruntukan siaran yang ditayangkan. Gigi tongos, tubuh mini, kurus kering hingga badan super gemuk (lengkap dengan aneka gaya dan ekspresi wajah bloon) bermunculan (sambil berusaha ) menarik perhatian para pemirsa.

Umberto Eco, dalam Celebrity As Simulacrum, dengan jitu menafsirkan gejala ini sebagai kondisi ‘ humanistic zoo’, di mana para manusia sepakat untuk menghuni ‘kandang’ tersendiri dalam eksistensi sebagai ‘peliharaan’ dan menjadi tontonan karena ‘ketidakbiasaan’ mereka. Dalam pengamatan Eco, budaya memelihara manusia unik ini dikukuhkan oleh berbagai kebudayaan besar sejak era para gladiator Roma. Di milenium ini, dalam sorotan gemerlap budaya pop, konsepnya berubah menjadi semacam klangenan yang secara dominan muncul sebagai sumber umpan bagi ledekan dan tingkah laku lainnya yang semata-mata dimaksudkan sebagai penggeli hati..

Walau begitu kehadiran orang pinggiran ini – dengan segenap keelokan dan bakat ajaibnya – secara umum dianggap belum pantas meraih predikat sebagai selebritis, walau jelas kemunculan mereka di media masa kini (televisi) cukup dielu-elukan. Seperti di era kekaisaran Roma, mereka masih dianggap sebagai badut, yang memeriahkan suasana sebelum acara puncak; pertarungan gladiator, dimulai. Fakta lain yang merujuk pada kenyataan seperti ini juga terjadi dalam blantika siaran televisi kita. Ribut-ribut yang menyemburkan berbagai komentar sinis di berbagai kalangan masyarakat kita terhadap keberhasilan Inul dan Tukul telah menjadi bukti tersendiri.

Selama ini, bius budaya pop telah menaburkan citra yang kemudian terpatri di benak kita semua bahwa selebritis adalah orang terpilih dengan beberapa persyaratan khas yang harus dipenuhi : wajah rupawan, punya kemampuan untuk memenuhi hasrat kesenangan para penggemarnya. Sebagai pesohor, para selebritis bahkan dituntut untuk , memiliki gaya hidup tersendiri, yang berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka bahkan menuntut para selebritis untuk selalu ‘jaim’(jaga imej), karena bukankah secara ‘sosial’ posisi mereka berada di atas para penggemarnya.

Persepsi ini secara otomatis tercetak di benak mereka, hingga ketika Tukul Arwana ditemukan sedang makan baskmi di pinggir jalan bersama para tukang ojek, maka Tukul disebut sebagai ‘selebritis baik hati yang masih mau membumi, bergaul dengan orang kecil. Padahal bagi Tukul sendiri, hal seperti itu sudah biasa dilakukan, karena dia sendiri bahkan sama sekali tak pernah merasa telah berubah menjadi selebriti. Ketenaran yang didapatkan sekarang bahkan dianggap sebagai buah dari kerja keras dan perjuangan yang teramat panjang.

Dinista, menjadi idola

Umberto Eco menyebutkan bila dalam konteks budaya pop masa kini, selebriti adalah dewa (walau maknanya hanya sebatas simulakra). Atau lebih jauh digambarkan Eco sebagai ‘ our polytheistic pomo pantheon’, yang usia jubah kedewaaannya tergantung dari sejauh mana kita berkenan hingga kita merasa bosan. Setelah peradaban modern membunuh para dewa, kita menciptakan selebritis dan memuja mereka.

Persyaratan ‘kedewaan’ itulah yang menimbulkan bahwa para selebritis harus berada di atas kehidupan rakyat biasa, atau menurut istilah mereka ‘kelas bintang’. Saat Inul yang penyanyi kampung mendadak melejit ke angkasa dan bersinar melebihi si Raja Dangdut ( dalam sebuah konser di Taman Impian Jaya Ancol, penonton memang menyerukan agar si Raja Dangdut turun panggung, agar Inul segera muncul), banyak pihak yang mendadak sirik. “Siapa sih dia, kok merasa lebih hebat dari kita,” begitu (konon ) kata CM, penyanyi dangdut lain yang merasa lebih senior.

Yang mencuat sebenarnya persaingan tajam, dengan alasan yang meragukan kebintangan Inul, sambil menyeret-nyeret gaya joget ngebor Inul sebagai kambing hitam.

Tapi semua penekanan yang secara telanjang membangkitkan citra Inul sebagai korban kedengkian justru menjadikan sosok orang pinggiran sebagai pemenang. Efek bola salju bahkan menggelindingkan kemashuran Inul hampir di semua stasiun TV swasta. Saya mencatat beberapa tayangan khusus seperti Rindu Inul (Trans TV), Sang Bintang (SCTV), Inul Tainment (TPI), Goyang Inul dan sebagainya. Bahkan SCTV juga menayangkan Kenapa Harus Inul, sebuah sinetron yang dibuat khusus tentang Inul. Semua ini adalah fakta kebintangan (stardom) Inul yang amat kontradiktif dengan boikot yang dilakukan oleh sebuah organisasi penyanyi dangdut.

Hal yang serupa muncul di genre talk show, sebuah model perbincangan yang terlanjur dimitoskan sebagai sebuah acara menjual percakapan cerdas. Ketika Tukul Arwana hadir dengan segenap kenaifannya dan berhasil mencuri perhatian pemirsa, muncul kehebohan di kalangan para pemandu acara. Kali ini obyek kecemburuan mereka adalah gaya lugu sekaligus ‘kebodohan’ Tukul yang tak bisa mengeja kata bahasa Inggris dengan benar. Namun kepolosan Tukul yang tak segan mengejek diri sendiri pun mengundang simpati. Hingga kini, acara Empat Mata yang dipandu Tukul Arwana masih menampilkan nafas panjang.

Hal yang sama pun pernah terjadi di Amerika, ketika William Hung, peserta kontes American Idol, diejek habis-habisan oleh seorang juri (Simon Cowell) saat dia menyanyikan lagu She Bangs-nya Ricky Martin. Hung memang tidak ganteng, bahkan tergolong ‘parah’ untuk kontestan American Idol. Wajah Mongoloid, gigi tonggos, rambut kaku, gaya kikuk dengan logat Inggris- Hong Kong yang terdengar aneh. Tak heran bila penampilannya dikomentari sebagai ‘perfect storm to stardom”. Namun saat dimaki, dia menjawab polos,” "Um, I already gave my best, and I have no regrets at all." Publik layar kaca Amerika pun jatuh cinta padanya. Dia mendapat kontrak rekaman album, tampil dalam sejumlah film iklan, menjadi bintang tamu di beberapa talk show beken; Entertainment Tonight, The Late Show With David Letterman, The Howard Stern Radio Show, The Ellen DeGeneres Show, Dateline NBC, Arrested Development.

(Heru Emka)

Tidak ada komentar: