Sabtu, 12 Januari 2008


Simalakama Sinetron Kita

Kehadiran sekian banyak tayangan sinetron di sekian stasiun TV swasta kita seharusnya memberikan pencerahan tersendiri bagi mereka yang mendambakan huiburan yang sehat di layer kaca. Namun apa daya, kehadiran sekian banyak judul sinetron malah menjelma menjadi simalakama. Dengan jumlah produksi film layer perak yang masih tersendat pertumbuhannya, seharusnya sinetron mampu mengisi ceruk dan peluang yang cukup banyak di layer kaca. Setidaknya minimal dalam 16 jam operasional TV swasta kita, memberi cukup banyak waktu bagi penampilan sinetron, yang rata-rata berdurasi satu jam saja.

Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai dengan konflik. Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter khas masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.

Tak kurang dari seorang Garin Nugroho menyatakan bila saluran TV swasta kita seharusnya menjadi ladang subur bagi perkembangan sinetron, yang bias menjadi batu pijakan yang baik bagi kalangan kreatifnya, untuk menjangkau reputasi yang lebih bagus di layr perak. “ Semua peluang yang menjadi daya tarik utama televisi sebenarnya punya nilai ekonomis masing-masing. Baik itu nilai ekonomis secara cultural, maupun nilai ekonomis finansial. Namun di negeri kita ini, nilai keuntungan bagi kemajuan budaya dilemahkan tanpa daya oleh nilai ekonomis pemodal, “ ujar sutradara muda ini saat ditemui di sela acara LA Lights Indie Movie di Yogya.

Garin kemudian menjelaskan, dengan mengutip sebuah teori kajian budaya, bila komoditas budaya itu juga punya manfaat tersendiri, karena lebih tertuju pada nilai guna. “ Ini bisa ditafsirkan bila tayangan sinetron yang baik, selain memberikan kesenangan pada pemirsa, juga memberikan makna, sekaligus menjadi identitas sosial yang tersendiri. Namun faktanya, yang dijadikan acuan dalam menyusun program adalah rasionalisasi yang berdasarkan pada nilai-nilai pasar dan justru diperkuat oleh sponsor yang ingin menggiring pemirsa dalam kepentingan ekonomisnya.”

Garin selanjutnya menambahkan, bila televisi lantas melakukan mekanisme pasar tak ubahnya tukang sihir, yang menampilkan semua kelimpahan kemudahan logika dan eksotisme semata. Semua ini dibungkus dengan dalih bahwa televisi masih membutuhkan waktu untuk menciptakan iklim yang sehat bagi produk lokal.

Selaras dengan pendapat Garin, Drs. Djumari M.Si, ( seorang kepala keluarga yang dengan tekun sengaja menyediakan sebagian waktunya untuk mengamati berbagai tayangan sinetron di televise kita), mengatakan bila kehendak beberapa rumah produksi untuk menguasai sebuah ‘ruang’ di televisi, membuat sebuah sinetron sengaja diulur-ulur, menjadi berpuluh-puluh episode. “ Jelas ceritanya menjadi cair, menurunkan kualitas cerita. Pada akhirnya membuat sinetron menjadi kepanjangan niat komersial saja, kehilangan peluangnya untuk memberi tontonan yang bermakna, namun hanya sekedar menyajikan hal-hal yang bersifat menghibur atau sekedar memberi sensasi gampangan. Seperti yang ada dalam konsep yang sering disebut sebagai ‘bmw’ atau konsep blood, money and woman,” ujarnya.

Ayah dari dua orang anak ini kemudian menunjukkan beberapa hal yang kurang memberi manfaat yang mencerahkan. . “ Lihat saja sebagian besar tayangan TV yang ada pada umumnya bercerita seputar kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segi tiga, kehidupan keluarga yang penuh dengan kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib.”

Jumari menyatakan bila dirinya bukanlah orang yang anti sinetron. Sebagai orang yang merasa awam, dia justru mencoba untuk tetap tekun menonton berbagai sinetron, sambil berharap menemukan sinetron yang baik. “ Bukannya semua sinetron kita buruk, atau semua pemirsa sinetron kita tidak cerdas. Yang cukup memprihatinkan, banyak sinetron yang hedonis dan mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba wah. Lebih parah lagi, menurut data sebuah lembaga riset, sebagian besar penontonnya adalah ibu rumah tangga, atau pembantu yang butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mereka sedang dikibulin dengan impian kalangan atas. Logika sinetron itu kan cerita bagaimana asyiknya menjadi orang kaya, bermimpi dipersunting pangeran kaya dan tampan, membayangkan memperistri wanita cantik dan seksi, memiliki rumah mewah dan mobil belasan, dan sebagainya.”

Bila seorang pemirsa awam ( yang berkarir sebagai birokrat di lingkungan pemerintahan propinsi Jateng ) seperti Drs. Djumari M.Si., bisa memberikan analogi tentang betapa mubasirnya sekian banyak jam yang ada diberbagai stasiun TV swasta kita,- maka Garin Nugroho melihat ada dua gejala yang selalu muncul dalam industri jasa televise yang sedang berkembang. “ Dari satu sisi, lingkungan komersial yang kompetitif bisa juga berdampak positif pada kreasi dan inovasi. Namun di sisi lain, ternyata ‘inovasi’ yang muncul ternyata justru karena factor persaingan antar stasiun TV, kreasi dan sumber dana mereka sendiri. Itulah sebabnya muncul demam tema hantu-hantuan, tema sinetron yang maunya relijius, bahkan demam reality show sempat mewarnai industri televisi kita. Yang konsisten dengan segmennya tak banyak. Metro TV misalnya,” ujar Garin, yang juga mengatakan siap untuk menggarap film BumiManusia, yang diangkat dari novel Pramudya Ananta Toer.

Memang serba salah, karena logika para pembuat sinetron, yang terpancang pada pertimbangan pasar yang menempatkan ratting sebagai alasan tradisionalnya, faktanya bahkan menembus semua tingkat pengambilan keputusan di antara mereka. John Fiske, dalam Television Culture ( New York, Routledge, 1987, halaman 313, misalnya, mengatakan bila kekuatan masyarakat sebagai penghasil dalam ekonomi kultural, yang dikemukakan oleh Garin tadi – sangatlah kuat. Namun ekonomi finansial cenderung untuk mendukung kerjasama dan homogenisasi, sedangkan ekonomi kultural cenderung menopang kekuatan perlawanan terhadap kapitalisme dan berpihak pada perbedaan.

Di antara salah kaprah yang kemudian terasa sebagai buah simalakama ini, akhirnya muncul pertanyaan “ Sampai kapan fenomena ini bertahan? Menurut Jumari, selama penonton sinetron masih kecanduan dengan tema-tema gampangan seperti ini, atau selama production house masih mengejar keuntungan melulu, kemandegan seperti ini masih akan terjadi.

“ Bila semua ini dibiarkan berlarut-larut, dan dianggap sebagai sebuah pembenaran, maka membuat sinetron yang bagus seperti Dunia Tanpa Koma atau serial Bajaj Bajuri, akan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Tayangan yang mencerdaskan masyarakat sepertri Kick Andy (Metro TV) , Liputan 6 (SCTV), atau program kanak-kanak Si Bolang (Trans 7) tak akan diproduksi lagi. Mereka lebih suka membuat sinetron tak bermutu tapi laku, lebih suka membuat sinetron dan tayangan jiplakan, tapi laris sebagai tontonan, “ ujar Djumari. Nah, apa pendapat Anda, wahai para pemerhati sinetron kita ? (Heru Emka)

Kemenangan Orang Pinggiran


Kemenangan Orang Pinggiran

Selain mengandung berbagai makna sebagai sebuah simulakra, televisi pun seperti buku katalog besar ,- yang menampilkan wajah semua orang. Secara tradisional televisi masih menggenggam rumus media massa, yang mewariskan konsep : ‘yang aneh, unik dan tampil beda, selalu ingin diketahui orang.’ Maka selain wajah-wajah rupawan para selebritis, wajah-wajah yang tidak rupawan pun be rmunculan di sana. Tergantung jenis program dan peruntukan siaran yang ditayangkan. Gigi tongos, tubuh mini, kurus kering hingga badan super gemuk (lengkap dengan aneka gaya dan ekspresi wajah bloon) bermunculan (sambil berusaha ) menarik perhatian para pemirsa.

Umberto Eco, dalam Celebrity As Simulacrum, dengan jitu menafsirkan gejala ini sebagai kondisi ‘ humanistic zoo’, di mana para manusia sepakat untuk menghuni ‘kandang’ tersendiri dalam eksistensi sebagai ‘peliharaan’ dan menjadi tontonan karena ‘ketidakbiasaan’ mereka. Dalam pengamatan Eco, budaya memelihara manusia unik ini dikukuhkan oleh berbagai kebudayaan besar sejak era para gladiator Roma. Di milenium ini, dalam sorotan gemerlap budaya pop, konsepnya berubah menjadi semacam klangenan yang secara dominan muncul sebagai sumber umpan bagi ledekan dan tingkah laku lainnya yang semata-mata dimaksudkan sebagai penggeli hati..

Walau begitu kehadiran orang pinggiran ini – dengan segenap keelokan dan bakat ajaibnya – secara umum dianggap belum pantas meraih predikat sebagai selebritis, walau jelas kemunculan mereka di media masa kini (televisi) cukup dielu-elukan. Seperti di era kekaisaran Roma, mereka masih dianggap sebagai badut, yang memeriahkan suasana sebelum acara puncak; pertarungan gladiator, dimulai. Fakta lain yang merujuk pada kenyataan seperti ini juga terjadi dalam blantika siaran televisi kita. Ribut-ribut yang menyemburkan berbagai komentar sinis di berbagai kalangan masyarakat kita terhadap keberhasilan Inul dan Tukul telah menjadi bukti tersendiri.

Selama ini, bius budaya pop telah menaburkan citra yang kemudian terpatri di benak kita semua bahwa selebritis adalah orang terpilih dengan beberapa persyaratan khas yang harus dipenuhi : wajah rupawan, punya kemampuan untuk memenuhi hasrat kesenangan para penggemarnya. Sebagai pesohor, para selebritis bahkan dituntut untuk , memiliki gaya hidup tersendiri, yang berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka bahkan menuntut para selebritis untuk selalu ‘jaim’(jaga imej), karena bukankah secara ‘sosial’ posisi mereka berada di atas para penggemarnya.

Persepsi ini secara otomatis tercetak di benak mereka, hingga ketika Tukul Arwana ditemukan sedang makan baskmi di pinggir jalan bersama para tukang ojek, maka Tukul disebut sebagai ‘selebritis baik hati yang masih mau membumi, bergaul dengan orang kecil. Padahal bagi Tukul sendiri, hal seperti itu sudah biasa dilakukan, karena dia sendiri bahkan sama sekali tak pernah merasa telah berubah menjadi selebriti. Ketenaran yang didapatkan sekarang bahkan dianggap sebagai buah dari kerja keras dan perjuangan yang teramat panjang.

Dinista, menjadi idola

Umberto Eco menyebutkan bila dalam konteks budaya pop masa kini, selebriti adalah dewa (walau maknanya hanya sebatas simulakra). Atau lebih jauh digambarkan Eco sebagai ‘ our polytheistic pomo pantheon’, yang usia jubah kedewaaannya tergantung dari sejauh mana kita berkenan hingga kita merasa bosan. Setelah peradaban modern membunuh para dewa, kita menciptakan selebritis dan memuja mereka.

Persyaratan ‘kedewaan’ itulah yang menimbulkan bahwa para selebritis harus berada di atas kehidupan rakyat biasa, atau menurut istilah mereka ‘kelas bintang’. Saat Inul yang penyanyi kampung mendadak melejit ke angkasa dan bersinar melebihi si Raja Dangdut ( dalam sebuah konser di Taman Impian Jaya Ancol, penonton memang menyerukan agar si Raja Dangdut turun panggung, agar Inul segera muncul), banyak pihak yang mendadak sirik. “Siapa sih dia, kok merasa lebih hebat dari kita,” begitu (konon ) kata CM, penyanyi dangdut lain yang merasa lebih senior.

Yang mencuat sebenarnya persaingan tajam, dengan alasan yang meragukan kebintangan Inul, sambil menyeret-nyeret gaya joget ngebor Inul sebagai kambing hitam.

Tapi semua penekanan yang secara telanjang membangkitkan citra Inul sebagai korban kedengkian justru menjadikan sosok orang pinggiran sebagai pemenang. Efek bola salju bahkan menggelindingkan kemashuran Inul hampir di semua stasiun TV swasta. Saya mencatat beberapa tayangan khusus seperti Rindu Inul (Trans TV), Sang Bintang (SCTV), Inul Tainment (TPI), Goyang Inul dan sebagainya. Bahkan SCTV juga menayangkan Kenapa Harus Inul, sebuah sinetron yang dibuat khusus tentang Inul. Semua ini adalah fakta kebintangan (stardom) Inul yang amat kontradiktif dengan boikot yang dilakukan oleh sebuah organisasi penyanyi dangdut.

Hal yang serupa muncul di genre talk show, sebuah model perbincangan yang terlanjur dimitoskan sebagai sebuah acara menjual percakapan cerdas. Ketika Tukul Arwana hadir dengan segenap kenaifannya dan berhasil mencuri perhatian pemirsa, muncul kehebohan di kalangan para pemandu acara. Kali ini obyek kecemburuan mereka adalah gaya lugu sekaligus ‘kebodohan’ Tukul yang tak bisa mengeja kata bahasa Inggris dengan benar. Namun kepolosan Tukul yang tak segan mengejek diri sendiri pun mengundang simpati. Hingga kini, acara Empat Mata yang dipandu Tukul Arwana masih menampilkan nafas panjang.

Hal yang sama pun pernah terjadi di Amerika, ketika William Hung, peserta kontes American Idol, diejek habis-habisan oleh seorang juri (Simon Cowell) saat dia menyanyikan lagu She Bangs-nya Ricky Martin. Hung memang tidak ganteng, bahkan tergolong ‘parah’ untuk kontestan American Idol. Wajah Mongoloid, gigi tonggos, rambut kaku, gaya kikuk dengan logat Inggris- Hong Kong yang terdengar aneh. Tak heran bila penampilannya dikomentari sebagai ‘perfect storm to stardom”. Namun saat dimaki, dia menjawab polos,” "Um, I already gave my best, and I have no regrets at all." Publik layar kaca Amerika pun jatuh cinta padanya. Dia mendapat kontrak rekaman album, tampil dalam sejumlah film iklan, menjadi bintang tamu di beberapa talk show beken; Entertainment Tonight, The Late Show With David Letterman, The Howard Stern Radio Show, The Ellen DeGeneres Show, Dateline NBC, Arrested Development.

(Heru Emka)