Simalakama Sinetron Kita
Kehadiran sekian banyak tayangan sinetron di sekian stasiun TV swasta kita seharusnya memberikan pencerahan tersendiri bagi mereka yang mendambakan huiburan yang sehat di layer kaca. Namun apa daya, kehadiran sekian banyak judul sinetron malah menjelma menjadi simalakama. Dengan jumlah produksi film layer perak yang masih tersendat pertumbuhannya, seharusnya sinetron mampu mengisi ceruk dan peluang yang cukup banyak di layer kaca. Setidaknya minimal dalam 16 jam operasional TV swasta kita, memberi cukup banyak waktu bagi penampilan sinetron, yang rata-rata berdurasi satu jam saja.
Sinetron pada umumnya bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari yang diwarnai dengan konflik. Seperti layaknya drama atau sandiwara, sinetron diawali dengan perkenalan tokoh-tokoh yang memiliki karakter khas masing-masing. Berbagai karakter yang berbeda menimbulkan konflik yang makin lama makin besar sehingga sampai pada titik klimaksnya. Akhir dari suatu sinetron dapat bahagia maupun sedih, tergantung dari jalan cerita yang ditentukan oleh penulis skenario.
Tak kurang dari seorang Garin Nugroho menyatakan bila saluran TV swasta kita seharusnya menjadi ladang subur bagi perkembangan sinetron, yang bias menjadi batu pijakan yang baik bagi kalangan kreatifnya, untuk menjangkau reputasi yang lebih bagus di layr perak. “ Semua peluang yang menjadi daya tarik utama televisi sebenarnya punya nilai ekonomis masing-masing. Baik itu nilai ekonomis secara cultural, maupun nilai ekonomis finansial. Namun di negeri kita ini, nilai keuntungan bagi kemajuan budaya dilemahkan tanpa daya oleh nilai ekonomis pemodal, “ ujar sutradara muda ini saat ditemui di sela acara LA Lights Indie Movie di Yogya.
Garin kemudian menjelaskan, dengan mengutip sebuah teori kajian budaya, bila komoditas budaya itu juga punya manfaat tersendiri, karena lebih tertuju pada nilai guna. “ Ini bisa ditafsirkan bila tayangan sinetron yang baik, selain memberikan kesenangan pada pemirsa, juga memberikan makna, sekaligus menjadi identitas sosial yang tersendiri. Namun faktanya, yang dijadikan acuan dalam menyusun program adalah rasionalisasi yang berdasarkan pada nilai-nilai pasar dan justru diperkuat oleh sponsor yang ingin menggiring pemirsa dalam kepentingan ekonomisnya.”
Garin selanjutnya menambahkan, bila televisi lantas melakukan mekanisme pasar tak ubahnya tukang sihir, yang menampilkan semua kelimpahan kemudahan logika dan eksotisme semata. Semua ini dibungkus dengan dalih bahwa televisi masih membutuhkan waktu untuk menciptakan iklim yang sehat bagi produk lokal.
Selaras dengan pendapat Garin, Drs. Djumari M.Si, ( seorang kepala keluarga yang dengan tekun sengaja menyediakan sebagian waktunya untuk mengamati berbagai tayangan sinetron di televise kita), mengatakan bila kehendak beberapa rumah produksi untuk menguasai sebuah ‘ruang’ di televisi, membuat sebuah sinetron sengaja diulur-ulur, menjadi berpuluh-puluh episode. “ Jelas ceritanya menjadi cair, menurunkan kualitas cerita. Pada akhirnya membuat sinetron menjadi kepanjangan niat komersial saja, kehilangan peluangnya untuk memberi tontonan yang bermakna, namun hanya sekedar menyajikan hal-hal yang bersifat menghibur atau sekedar memberi sensasi gampangan. Seperti yang ada dalam konsep yang sering disebut sebagai ‘bmw’ atau konsep blood, money and woman,” ujarnya.
Ayah dari dua orang anak ini kemudian menunjukkan beberapa hal yang kurang memberi manfaat yang mencerahkan. . “ Lihat saja sebagian besar tayangan TV yang ada pada umumnya bercerita seputar kehidupan remaja dengan intrik-intrik cinta segi tiga, kehidupan keluarga yang penuh dengan kekerasan, dan tema yang akhir-akhir ini sangat digemari yaitu tentang kehidupan alam gaib.”
Jumari menyatakan bila dirinya bukanlah orang yang anti sinetron. Sebagai orang yang merasa awam, dia justru mencoba untuk tetap tekun menonton berbagai sinetron, sambil berharap menemukan sinetron yang baik. “ Bukannya semua sinetron kita buruk, atau semua pemirsa sinetron kita tidak cerdas. Yang cukup memprihatinkan, banyak sinetron yang hedonis dan mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba wah. Lebih parah lagi, menurut data sebuah lembaga riset, sebagian besar penontonnya adalah ibu rumah tangga, atau pembantu yang butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mereka sedang dikibulin dengan impian kalangan atas. Logika sinetron itu kan cerita bagaimana asyiknya menjadi orang kaya, bermimpi dipersunting pangeran kaya dan tampan, membayangkan memperistri wanita cantik dan seksi, memiliki rumah mewah dan mobil belasan, dan sebagainya.”
Bila seorang pemirsa awam ( yang berkarir sebagai birokrat di lingkungan pemerintahan propinsi Jateng ) seperti Drs. Djumari M.Si., bisa memberikan analogi tentang betapa mubasirnya sekian banyak jam yang ada diberbagai stasiun TV swasta kita,- maka Garin Nugroho melihat ada dua gejala yang selalu muncul dalam industri jasa televise yang sedang berkembang. “ Dari satu sisi, lingkungan komersial yang kompetitif bisa juga berdampak positif pada kreasi dan inovasi. Namun di sisi lain, ternyata ‘inovasi’ yang muncul ternyata justru karena factor persaingan antar stasiun TV, kreasi dan sumber dana mereka sendiri. Itulah sebabnya muncul demam tema hantu-hantuan, tema sinetron yang maunya relijius, bahkan demam reality show sempat mewarnai industri televisi kita. Yang konsisten dengan segmennya tak banyak. Metro TV misalnya,” ujar Garin, yang juga mengatakan siap untuk menggarap film BumiManusia, yang diangkat dari novel Pramudya Ananta Toer.
Memang serba salah, karena logika para pembuat sinetron, yang terpancang pada pertimbangan pasar yang menempatkan ratting sebagai alasan tradisionalnya, faktanya bahkan menembus semua tingkat pengambilan keputusan di antara mereka. John Fiske, dalam Television Culture ( New York, Routledge, 1987, halaman 313, misalnya, mengatakan bila kekuatan masyarakat sebagai penghasil dalam ekonomi kultural, yang dikemukakan oleh Garin tadi – sangatlah kuat. Namun ekonomi finansial cenderung untuk mendukung kerjasama dan homogenisasi, sedangkan ekonomi kultural cenderung menopang kekuatan perlawanan terhadap kapitalisme dan berpihak pada perbedaan.
Di antara salah kaprah yang kemudian terasa sebagai buah simalakama ini, akhirnya muncul pertanyaan “ Sampai kapan fenomena ini bertahan? Menurut Jumari, selama penonton sinetron masih kecanduan dengan tema-tema gampangan seperti ini, atau selama production house masih mengejar keuntungan melulu, kemandegan seperti ini masih akan terjadi.
“ Bila semua ini dibiarkan berlarut-larut, dan dianggap sebagai sebuah pembenaran, maka membuat sinetron yang bagus seperti Dunia Tanpa Koma atau serial Bajaj Bajuri, akan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Tayangan yang mencerdaskan masyarakat sepertri Kick Andy (Metro TV) , Liputan 6 (SCTV), atau program kanak-kanak Si Bolang (Trans 7) tak akan diproduksi lagi. Mereka lebih suka membuat sinetron tak bermutu tapi laku, lebih suka membuat sinetron dan tayangan jiplakan, tapi laris sebagai tontonan, “ ujar Djumari. Nah, apa pendapat Anda, wahai para pemerhati sinetron kita ? (Heru Emka)